KEPERCAYAAN di NEGARA JEPANG

Berikut ini sedikit gambaran mengenai sistem kepercayaan masyarakat Jepang. Dikatakan bahwa tidak ada Negara lain di dunia ini yang memiliki sistem kepercayaan primitif sekuat Jepang. Hal ini bisa dipahami dari masih kuatnya nilai-nilai tradisional kepercayaan Shinto dalam masyarakat.
Shinto, yang berarti ”Jalan dewa” merupakan kepercayaan asli Jepang. Shinto didasarkan pada pemikiran yang percaya dengan banyak dewa (polytheisme) dan kekuatan alam (matahari, bulan, gunung, laut, ombak, angina, petir, dll). Sehingga, hal ini berpengaruh pada sikap hormat yang sangat tinggi masyarakat Jepang kepada alam, ditunjukkan dengan sikap merawat alam, hingga saat ini.

Shinto pada dasarnya merupakan keyakinan yang terbentuk karena adanya pengaruh Budha yang masuk dari China dan Korea, sehingga Butsudo (Jalan Budha) disebut sebagai kepercayaan dari ”luar”. Pada prosesnya, nilai-nilai Budha disesuaikan dengan nilai-nilai Jepang (di-Jepangkan).

Sebenarnya, kepercayaan Shinto sangat sekuler (dalam arti hanya bersifat kepercayaan keduniawian), dan mereka percaya tidak ada kehidupan setelah mati. Kepercayaan masyarakat inilah yang menjadi dasar orang Jepang untuk mengejar keduniawian dan tidak takut mati (karena tidak percaya adanya neraka). Sedangkan di sisi lain, dalam Budha ada kepercayaan tentang kehidupan setelah mati (akhirat) dan ada surga. Maka, hampir 98% masyarakat Jepang menggunakan tata cara Budha dalam upacara kematiannya.

Bisa dikatakan bahwa masyarakat Jepang menyatukan kepercayaan Shinto dan Budha (disebut Shinbutsu shugo à shin = Shinto, butsu = budha, shugo = penyatuan). Maksudnya, ada dualisme pada orang Jepang dimana dewa Budha disamakan dengan dewa Shinto (Honji suijyaku). Selain itu, dualisme ini ditunjukkan dengan kepercayaan Jepang kepada keduanya, yaitu Shinto sebagai kehidupan dunia, dan Budha sebagai kehidupan akhirat. Dengan kata lain, dualisme ini menunjukkan pragmatisme masyarakat Jepang dalam memandang agama, bukan secara doktrinal. Dalam Shinto tidak ada kitab suci, hanya ada babad mitologi saja sehingga Shinto bukanlah termasuk ”agama”.

Dari penjelasan tersebut bisa ditarik pemahaman bahwa apa yang terjadi dalam masyarakat Jepang adalah agama tidak dijalankan sebagai doktrinal filosofis, namun sebatas nilai-nilai umum saja. Maka, tak heran apabila kita sering melihat kasus bunuh diri (harakiri) dalam masyarakat Jepang, karena mereka memang tidak takut mati dan tidak percaya adanya kehidupan sesudah kematian.







Poin-poin yang terkandung dalam artikel :

 Shinto, yang berarti ”Jalan dewa” merupakan kepercayaan asli Jepang. Shinto didasarkan pada pemikiran yang percaya dengan banyak dewa (polytheisme) dan kekuatan alam (matahari, bulan, gunung, laut, ombak, angina, petir, dll).
 Sebenarnya, kepercayaan Shinto sangat sekuler (dalam arti hanya bersifat kepercayaan keduniawian), dan mereka percaya tidak ada kehidupan setelah mati.
 Sedangkan disisi lain, dalam Budha ada kepercayaan tentang kehidupan setelah mati (akhirat) dan ada surga. Maka, hampir 98% masyarakat Jepang menggunakan tata cara Budha dalam upacara kematiannya.
 masyarakat Jepang menyatukan kepercayaan Shinto dan Budha (disebut Shinbutsu shugo à shin = Shinto, butsu = budha, shugo = penyatuan). Maksudnya, ada dualisme pada orang Jepang dimana dewa Budha disamakan dengan dewa Shinto (Honji suijyaku). Selain itu, dualisme ini ditunjukkan dengan kepercayaan Jepang kepada keduanya, yaitu Shinto sebagai kehidupan dunia, dan Budha sebagai kehidupan akhirat.

Kesimpulan :

Shinto, yang berarti ”Jalan dewa” merupakan kepercayaan asli Jepang. Shinto didasarkan pada pemikiran yang percaya dengan banyak dewa (polytheisme) dan kekuatan alam (matahari, bulan, gunung, laut, ombak, angina, petir, dll). Sehingga, hal ini berpengaruh pada sikap hormat yang sangat tinggi masyarakat Jepang kepada alam, ditunjukkan dengan sikap merawat alam, hingga saat ini.

masyarakat Jepang menyatukan kepercayaan Shinto dan Budha (disebut Shinbutsu shugo à shin = Shinto, butsu = budha, shugo = penyatuan). Maksudnya, ada dualisme pada orang Jepang dimana dewa Budha disamakan dengan dewa Shinto (Honji suijyaku). Selain itu, dualisme ini ditunjukkan dengan kepercayaan Jepang kepada keduanya, yaitu Shinto sebagai kehidupan dunia, dan Budha sebagai kehidupan akhirat.

Dari penjelasan tersebut bisa ditarik pemahaman bahwa apa yang terjadi dalam masyarakat Jepang adalah agama tidak dijalankan sebagai doktrinal filosofis, namun sebatas nilai-nilai umum saja. Maka, tak heran apabila kita sering melihat kasus bunuh diri (harakiri) dalam masyarakat Jepang, karena mereka memang tidak takut mati dan tidak percaya adanya kehidupan sesudah kematian.








Kebudayaan yang mempengaruhi kepribadian dari artikel di atas :

Dari uraian dii atas, yiitu kebisan/kebudayaan jepang yang mempecayai dewa-dewa dan kekuatan alam mengakibatkan kepribadian mereka yang memiliki sikap hormat yang sangat tinggi terhadap alam, dengan cara merawat alam hiingga saat ini. Dan atas kepercayaan masyarakat jepang terhadap dualisme agama, yaitu shiinto dan budha, membuat kepribadian mereka yang menganggap agama sebagai nilai-nilai umum saja, tidak di jalankan sebagai doctrinal filosofis.(HANSBLOX.COM)


Nelayan Jepang

Orang Jepang sejak lama menyukai ikan segar. Tetapi tidak banyak ikan yang tersedia di perairan yang dekat dengan Jepang dalam beberapa dekade ini. Jadi untuk memberi makan populasi Jepang, kapal-kapal penangkap ikan bertambah lebih besar dari sebelumnya. Semakin jauh para nelayan pergi, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk membawa hasil tangkapan itu ke daratan.
Jika perjalanan pulang mencapai beberapa hari, ikan tersebut tidak segar lagi. Orang Jepang tidak menyukai rasanya. Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan perikanan memasang freezer di kapal mereka. Mereka akan menangkap ikan dan langsung membekukannya di laut. Freezer memungkinkan kapal-kapal nelayan untuk pergi semakin jauh dan lama.Namun, orang Jepang dapat merasakan perbedaan rasa antara ikan segar dan beku, dan mereka tidak menyukai ikan beku. Ikan beku harganya menjadi lebih murah.
Sehingga perusahaan perikanan memasang tangki-tangki penyimpan ikan di kapal mereka. Para nelayan akan menangkap ikan dan langsung menjejalkannya ke dalam tangki hingga berdempet-dempetan. Setelah selama beberapa saat saling bertabrakan, ikan-ikan tersebut berhenti bergerak.Mereka kelelahan dan lemas, tetapi tetap hidup.
Namun, orang Jepang masih tetap dapat merasakan perbedaannya. Karena ikan tadi tidak bergerak selama berhari-hari, mereka kehilangan rasa ikan segarnya. Orang Jepang menghendaki rasa ikan segar yang lincah, bukan ikan yang lemas. Bagaimanakan perusahaan perikanan Jepang mengatasi masalah ini? Bagaimana mereka membawa ikan dengan rasa segar ke Jepang?
Jika anda menjadi konsultan bagi industri perikanan, apakah yang anda rekomendasikan?Begitu anda mencapai tujuan-tujuan anda, seperti mendapatkan jodoh - memulai perusahaan yang sukses - membayar hutang-hutang anda - atau apapun, anda dapat kehilangan gairah anda. Anda tidak perlu bekerja demikian keras sehingga anda bersantai.
Anda mengalami masalah yang sama dengan para pemenang lotere yang menghabiskan uang mereka, pewaris kekayaan yang tidak pernah tumbuh dewasa, dan para ibu rumah tangga jemu yang kecanduan obat-obatan resep.Seperti masalah ikan di Jepang tadi, solusi terbaiknya sederhana.
Hal ini diamati oleh L. Ron Hubbard di awal 1950-an."Orang berkembang, anehnya, hanya dalam kondisi lingkungan yang menantang" -L. Ron Hubbard.Keuntungan dari sebuah Tantangan:Semakin cerdas, tabah dan kompeten diri anda, semakin anda menikmati masalah yang rumit. Jika takarannya pas, dan anda terus menaklukan tantangan tersebut, anda akan bahagia. Anda akan memikirkan tantangan-tantangan tersebut dan merasa bersemangat.
Anda tertarik untuk mencoba solusi-solusi baru. Anda senang. Anda hidup!Bagaimana Ikan Jepang Tetap Segar? Untuk menjaga agar rasa ikan tersebut tetap segar, perusahaan perikanan Jepang tetap menyimpan ikan di dalam tangki. Tetapi kini mereka memasukkan seekor ikan hiu kecil ke dalam masing-masing tangki.
Memang ikan hiu memakan sedikit ikan, tetapi kebanyakan ikan sampai dalam kondisi yang sangat hidup. Ikan-ikan tersebut tertantang.Renungan :Jangan menghindari tantangan, melompatlah ke dalamnya dan taklukanlah.Nikmatilah permainannya. Jika tantangan anda terlalu besar atau terlalu banyak, jangan menyerah.Kegagalan jangan membuat anda lelah, sebaliknya, atur kembali strategi.Temukanlah lebih banyak keteguhan, pengetahuan, dan bantuan.Jika anda telah mencapai tujuan anda, rencanakanlah tujuan yang lebih besar lagi.
Begitu kebutuhan pribadi atau keluarga anda terpenuhi, berpindahlah ke tujuan untuk kelompok anda, masyarakat, bahkan umat manusia.Jangan ciptakan kesuksesan dan tidur di dalamnya.Anda memiliki sumber daya, keahlian, dan kemampuan untuk membuat perubahan.Jadi, masukkanlah seekor ikan hiu di tangki anda dan lihat berapa jauh yang dapat anda lakukan dan capai!


Poin-poin yang terkandung dalam artikel diatas :

 Permasalahan tentang bagaimana memberi makan populasi di Jepang, dengan memikirkan berbagai cara yang di lakukan oleh para nelayan jepang, untuk mendapatkan ikan segar yang diminati oleh masyarakat jepang,
 Nelayan, membuat kapal yang lebih besar untuk dapat berlayar ke laut yang lebih luas demi mendapatkan ikan yang besar dan segar,. Karena di perairan dekat jepang tidak tersedia banyak ikan.
 Berbagai trik yang telah dilakukan oleh nelayan jepang, untuk mendapatkan tangkapan ikan yang segar degan cara : Mereka akan menangkap ikan dan langsung membekukannya di laut. Para nelayan akan menangkap ikan dan langsung menjejalkannya ke dalam tangki hingga berdempet-dempetan. Hal itu dilakukan karena semakin jauh para nelayan pergi, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk membawa hasil tangkapan itu ke daratan.

Kesimpulan :

Orang Jepang sejak lama menyukai ikan segar. Tetapi tidak banyak ikan yang tersedia di perairan yang dekat dengan Jepang dalam beberapa dekade ini. Jadi untuk memberi makan populasi Jepang, kapal-kapal penangkap ikan bertambah lebih besar dari sebelumnya. Semakin jauh para nelayan pergi, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk membawa hasil tangkapan itu ke daratan.

Jika perjalanan pulang mencapai beberapa hari, ikan tersebut tidak segar lagi. Orang Jepang tidak menyukai rasanya. Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan perikanan memasang freezer di kapal mereka. Mereka akan menangkap ikan dan langsung membekukannya di laut. Freezer memungkinkan kapal-kapal nelayan untuk pergi semakin jauh dan lama.Namun, orang Jepang dapat merasakan perbedaan rasa antara ikan segar dan beku, dan mereka tidak menyukai ikan beku. Ikan beku harganya menjadi lebih murah.

Sehingga perusahaan perikanan memasang tangki-tangki penyimpan ikan di kapal mereka. Para nelayan akan menangkap ikan dan langsung menjejalkannya ke dalam tangki hingga berdempet-dempetan. Setelah selama beberapa saat saling bertabrakan, ikan-ikan tersebut berhenti bergerak.Mereka kelelahan dan lemas, tetapi tetap hidup.
Untuk menjaga agar rasa ikan tersebut tetap segar, perusahaan perikanan Jepang tetap menyimpan ikan di dalam tangki. Tetapi kini mereka memasukkan seekor ikan hiu kecil ke dalam masing-masing tangki.
Memang ikan hiu memakan sedikit ikan, tetapi kebanyakan ikan sampai dalam kondisi yang sangat hidup.

Lingkungan fisik yang merubah kepribadian pada artikel diatas :

Dari artikel diatas kita dapat mengetahui pengaruh lingkungan fisik terhadap kepribadian para nelayan jepang. Dari banyaknya hambatan tentang bagaimana menjaga ikan hasil tangkapan tetap segar untuk dikonsumsi masyarakat jepang, yang salah satu hambatannya yaitu dari kondisi perairan mereka yang tidak banyak menyediakan ikan, para nelayan itu berpikir dan mendapatkan tantangan. “Keuntungan dari sebuah Tantangan: Semakin cerdas, tabah dan kompeten diri anda, semakin anda menikmati masalah yang rumit. Jika takarannya pas, dan anda terus menaklukan tantangan tersebut, anda akan bahagia. Anda akan memikirkan tantangan-tantangan tersebut dan merasa bersemangat “. Jadi yang termasuk dari kepribadian mereka, yaitu cerdas, tabah, bersemangat, kompenten diri dan tidak pantang menyerah.
Usaha-usaha mereka untuk mendapatkan ikan segarpun, sebagai selera masyarakat di jepang, membuat kepribadian mereka yang sangat mementingkan kualitas tinggi dalam segala hal, khususnya makanan. (HANSBLOX.COM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar